Selasa, 05 Mei 2015

Hallo, Baby! Can't Wait to Hold You in My Arms..

Nggak terasa udah 31 minggu. Dari yang sempat jadi kayak mayat hidup di trimester pertama. Ngalamin hyperemesis, 2 kali dilariin ke IGD, 2 kali kena infus kanan kiri, 3 hari mondok di rumah sakit, hasil cek lab yang buruk. Sampai akhirnya keputusan pulang ke kampung halaman, Aceh, buat cari suasana baru. Trus galau jauhan sama suami. 2 bulan kemudian, balik lagi ke perantauan. Haha.

Dan sekarang di sinilah, masih di sini, Palembang. Nemenin suami menghabiskan masa studi per-koas-anya yang insya Allah tinggal beberapa hari lagi. Aamiin. Tinggal nunggu hasilnya tanggal 11 nanti, dan setelah itu beli tiket buat pulang lagi ke Aceh. Buat memulai kehidupan rumah tangga yang sebenarnya. Tinggal di rumah hanya berdua, masak sendiri, belanja bulanan, dan menjalani semuanya berdua. Dan satu lagi, buat mempersiapkan kelahiran anak pertama kami. I can't wait >_<

Masih suka lucu kalau udah membicarakan masalah anak. Hehe.
Gerakannya makin aktif. Sampai kadang (tiap hari bahkan) enggak bisa tidur dibuatnya. Tapi, aku nya sangat menikmati tiap detiknya. Tiap hari ngajak main, gerak sana sini, tapi begitu ayahnya dekatin, dianya diam. Haha. 

Ngomong-ngomong, enggak banyak perubahan secara fisik. Masih kayak dulu, hanya bagian perut yang makin besar, dan yaaa jalan yang makin susah. Alhamdulillah berat badan juga naiknya wajar, padahal sejak trimester kedua porsi makan aku enggak kira-kira, sampai dibilang sama mamak rakus. :D

Minggu lalu diperiksa sama suami (terkadang di situ enaknya punya suami dokter, hehe), alhamdulillah posisinya udah bagus. Nanti sebelum berangkat musti cek lagi ke dokter kandungan yang selama ini tanganin aku, sekalian minta surat jalan. :)

Kemarin ke toko buku, buat nyari buku nama-nama bayi. Kalau ditanya siapa namanya, sesuai requestnya suami, yang penting harus ada Yusuf nya. Baik, Bos! :p

Sehat-sehat ya, Nak. Insya Allah akhir bulan depan atau awal bulan Juli nanti kita bertemu. We can't wait to see you, to hold you. :)



Jumat, 19 Desember 2014

Hyperemesis. Saat Masa-masa Tersulit Trimester Pertama Kehamilan

Menjalani masa kehamilan di awal-awal minggu mungkin bagi sebagian perempuan biasa saja. Gagah, tetap bisa bekerja seperti biasa, tetap bisa kemana-mana dengan berpakaian rapi dan cantik. Namun, bagi sebagiannya lagi, awal kehamilan adalah saatnya istirahat total di tempat tidur, dengan berbagai keluhan. Termasuk aku.

Bahagia itu tidak bisa diungkapkan ketika pertama kali tahu aku hamil. Setelah kejadian beberapa bulan lalu yang buat aku dan suami harus kehilangan calon buah hati kami. Saat itu aku mengalami Blighted Ovum, atau bahasa awamnya tidak berkembangnya janin dalam kandungan. Dan ketika itu usia kehamilan sudah menginjak minggu ke tujuh, dan akhirnya pada minggu ke sepuluh aku harus dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan hebat yang berujung perpisahan kami dengan calon anak kami. Tertekan bukan main, sedih tidak tahu bilang. Bahkan ketika mertua marah dengan sikapku pun aku tidak peduli. 

Kejadian itu akhirnya perlahan dapat aku terima. Awalnya aku dan suami ingin menunda kehamilan sampai tahun depan. Alasan terkuatnya adalah, kami masih trauma. Masih tergambar ketakutan di raut wajah suamiku. Namun, manusia boleh berencana, tapi semua Allah yang menentukan. Aku hamil lagi. Bagaimana pun juga, kami sangat bahagia. Tapi aku masih takut akan terjadi hal yang sama lagi. Dan betapa bahagianya aku ketika akhirnya aku melihat mahkluk kecil itu ada di layar monitor USG, dengan detak jantungnya! Ingin menangis saat dokter bilang "tuh, udah ada dedeknya".

Setelah itu, hari-hari yang aku jalani tidaklah semudah yang lain. Aku mengalami Hyperemesis, muntah yang berlebihan. Makanan dan minuman tidak ada yang masuk sama sekali. Setiap masuk makan atau minum sesendok, tidak sampai lima menit pasti keluar lagi. Aku sampai lemas, kaki gemetaran, rasanya badan ini tidak ada tulangnya. Jangakan makan, mencium baunya saja bisa langsung buat aku mual dan muntah. Semua kebingungan harus kasih makan apa untukku. Semua dibeli, semua disediakan. 

Akhirnya aku drop. Berat badan turun drastis. Kulit tangan dan perut mulai mengelupas dan sudah bisa ditarik seperti keriput. Aku dilarikan lagi ke IGD rumah sakit terdekat. Tanpa menunggu lama, mereka langsung memasangkan oksigen dan infus untukku. Tidak ada tawaran lagi, opname. 

Aku dicek darah dan urin. Dan benar, banyak yang tidak seharusnya. Keton dalam urin positif +3, seminggu sebelumnya +1, yang seharusnya negatif. Protein dalam urin juga positif. Leukosit darah juga tinggi. Mau apa lagi. Aku harus menerima suntikan obat berkali kali selama dirawat.

Dua hari dua malam kondisiku membaik. Hasil darah dan urin yang sempat membuatku drop, akhirnya normal lagi. Ketika di USG lagi, bayiku yang awalnya terlihat sangat kecil karna kurang mendapat asupan serta kurangnya air ketuban, terlihat menari nari. Dia besar, dia bergerak. Kedua tangan dan kakinya sudah nampak. Dan aku pulang. Aaahh, rasanya sangat bahagia. Bisa peluk bantal dan guling di kamar sendiri.

Tapi ternyata hal itu tidak berlangsung lama. Belum seminggu keluar dari rumah sakir, aku drop lagi. Makan minum tidak masuk, malah muntah yang tidak berhenti. Tengah malam, ya tengah malam akhirnya suamiku melarikanku lagi ke IGD. Raut wajahnya sangat kusut. Dia capek, baru pulang jaga, dia juga kebingungan dengan keadaanku. 

Aku, diinfus lagi. Tapi tidak opname. Suamiku memutuskan untuk merawatku sendiri di rumah. Kami pulang dengan botol infus diikat suamiku gelantungan di mobil. Besoknya ia ijin tidak masuk. Ia menjagaku. Alhamdulillah aku cuma sehari infus itu bergelayut di tanganku. Siangnya suamiku melepasnya. 

Saat ini, aku masih mencari cara bagaimana untuk menahan mual yang aku rasa. berbagai macam obat mual sudah diresepkan, yang bahkan kata mereka sudah cukup paten. 

Dua minggu lagi aku pulang ke Aceh. Mungkin memang aku mengalami stress secara tidak sadar. Mungkin tekanan psikologis selama di sini. Aku harus pulang duluan dari suamiku yang masih harus berada di sini sampai bulan lima nanti. Semua demi anak kami. 

Kelak kau besar nanti, ini akan jadi cerita dari kami untukmu, nak. Bertahanlah..

Minggu, 19 Oktober 2014

Menghitung mundur pulang ke Aceh :D

7 bulan lagi menjelang kembali ke tanah kelahiran. Menghitung mundur dimulai. :D

Sumpah, enggak sabar lagi buat pulang balik ke Aceh setelah sejak 7 bulan yang lalu ngekor suami ke sini, ke Kota Sriwijaya. Sampai-sampai kalau lagi nyetir suka kecium sendiri aroma udara Aceh. huhuuu.. 

Beberapa bulan lalu terasanya kok ya bulan di kaledernya enggak habis-habis. Tapi ini udah akhir Oktober aja, udah mau November, terus Desember, trus tahun baru deh. Hehe. Udah planning sekitar bulan 2 nanti mulai ngepak barang terus langsung cargoin ke Aceh. Udah planning juga buat program hamil lagi, supaya pas pulang ke Aceh nanti usia kandungannya masih bisa diijinin buat naik pesawat. Melahirkannya bisa di Aceh, ada mamak sama papa. Aamiin :). 

Sudah enggak sabar buat bisa liat pantai, laut, gunung, dan sawah. Aaaaaaaa!!!! >____<
Enggak sabar juga bisa makan makanan laut yang segar-segar lagi. Ikaaaaaaan, betapa aku merindukan kaliaaaan! Hiks hiks :( . Enggak peduli deh biarpun di sana enggak punya mall yang besar-besar kayak di sini. 

Tunggu aku ya, Aceh! I'll be back, SOON! Aamiin.. :D

Rabu, 08 Oktober 2014

Secangkir Kopi HItam

Saat ini, aku tengah menikmati secangkir kopi hitam. Bukan beli dari warung kopi ternama Starbuck, atau Excelso, atau Kopitiam yang harga secangkirnya nembus lima puluh ribu rupiah. Tapi aku tengah menikmati kopi hitam khas Aceh, dikirim oleh orang tuaku minggu lalu. *mata berbinar-binar

Begitu buka bungkusnya, aroma kopinya langsung menyebar. Sluurrrp. Langsung ngences. hehe

ini dia, bubuk kopi aceh yang udah hampir 8 bulan ini amat sangat dirindukan >_<

Banyak merek, ada kopi Solong, ada kopi Gayo, ada kopi Tgk. Aceh. Waktu di sana, tiap ke warung kopi, (Aceh itu dunianya warung kopi, free wifi, tinggal duduk manis, pesan secangkir minuman, kue sebiji, udah bisa duduk berjam-jam menikmati wifi gratis :D), kalau enggak pesan es teh manis, pasti pesan segelas besar kopi hitam dingin. Oh betapa rindunya saat-saat seperti itu. 

nah, ini dia penampakan kopi hitam yang udah jadi :D

Rindunya udah di ubun-ubun. Dan waktu ibu mertua bilang kalau pertengahan tahun depan pulang ke Aceh sebentar minimal 6 bulan sebelum pindah lagi, itu rasanya bahagiaaaaaaa. Senyum lebar, sampai beliau geleng-geleng kepala sambil bilang "senang kali kalau udah mau pulang ke Aceh."

Aceh itu indah bukan main. Sepanjang jalan kenangan gunung lautan padang sawah terhampar di depan mata tanpa dibatasi dengan gedung-gedung tinggi. Apalagi perjalanan pulang ke rumah, menghadap gunung.

Berada di Aceh bagiku sama seperti menikmati secangkir kopi hitam saat ini. Bahagianya tiada tara. 

Rindu kampung halaman tercinta, Aceh.
Salam rindu dari Kota Sriwijaya, Palembang, 08 Oktober 2014.

Sabtu, 06 September 2014

Menjadi Istri Seorang Dokter, Itu Rasanya...

Barusan aja baca dari salah satu blog yang isinya curahan hati menjadi istri seorang dokter. Tiap kalimatnya ngena banget di aku nya. 

Benar adanya ketika menjadi istri seorang dokter, hal yang indah-indah sulit didapat tiap harinya. Harus pinter-pinter dari kitanya sebagai istri, juga harus ada kontribusi juga dari si suami. Kalau tidak, ya jangan harap bakal ada yang namanya bercanda-canda meskipun cuma sebentar. *tarik napas dalam-dalam.

Ketika menjadi istri seorang dokter, kita harus siap sama yang namanya janji jalan-jalan cuma jadi janji semata. Karena, bisa jadi ketika hari ini sang suami berjanji besok akan mengajak kita jalan-jalan, bisa jadi besoknya janji itu disinggungnya pun tidak gara-gara telat pulang dari rumah sakit, sampai rumah lebih senang liat kasur dan bantal atau sampai rumah langsung nyentuh kerjaan lagi, bergadang, enggak pindah-pindah dari kursinya. Dan kita, cuma bisa duduk terdiam. *ah, itu sudah biasa.

Ketika menjadi istri seorang dokter, kita harus siap jadi pendengar paling setia. Tiap bicara apaaa aja, pasti ujung-ujungnya nyambung ke masalah di rumah sakit, pasien-pasien gawat darurat yang ini, yang itu. Kadang harus berani buat bilang "Kita lagi senang-senang deh kayaknya, Sayang. Cerita rumah sakit nanti-nanti aja ya." *sekali lagi, ah, itu sudah biasa.

Ketika menjadi istri seorang dokter, harus tahan cemburu. Itu salah satu point penting. Kenapa? Karena, mau atau tidak mau, terima atau tidak, rekan perempuan sejawat suami, sebagian besar cantik-cantik, modis-modis (meskipun bau rumah sakit juga), dan agak-agak genit (sering liat, bukan khayalan semata). Dan dengan merekalah sang suami lebih banyak menghabiskan waktunya, terutama jika sedang jadwal jaga di rumah sakit. Kalau saya sih, biar enggak berpikiran aneh-aneh, suka tidur cepat. *edisi menghibur diri dan hati, ahaha.

Ketika menjadi istri seorang dokter, yang namanya jalan-jalan pada malam minggu itu sangat jarang. Jangankan malam minggu, malam-malam biasa aja kita harus hati-hati kalau mau mengajaknya keluar. Harus ada pengertian, harus tekan rasa sedih ketika ajakan kita ditolaknya dengan kalimat, "Besok aja ya, lelah sekali rasanya, pingin istirahat." atau "Besok aja boleh? Masih ada kerjaan". Sedangkan terkadang sudah seminggu lebih kita tidak diajaknya keluar. Palingan cuma ke depan komplek buat ke photo copy. :)

Tapi benar adanya, bahagia itu luas. Bagaimanapun dukanya menjadi istri seorang dokter, selalu ada bahagianya. Ketika ia membiarkan kita tertidur pulas dalam pelukannya. Ketika ia memberikan senyuman terindahnya hanya untuk kita. Ketika ia selalu memberikan kecupan manisnya untuk kita kapanpun (kecuali di depan orang lain :D). Dan rasa bahagia itu tidak bisa kita lukis dengan kata-kata. 



Minggu, 27 Juli 2014

Lebaran di Perantauan

Happy Ied Mubarak.. !
Mohon maaf lahir dan batin.

Tahun ini, tahun pertama berlebaran bersama suami, mengandeng jabatan sebagai istri. Banyak yg berubah, terutama ketika harus menarik tangan siapa untuk yang pertama kali. Kalau saat sebelum nikah, tangan pertama yang saya tarik adalah tangan mamak dan papa, kemudian kakak yang paling tua, abang ipar, kakak yang kedua, adik kesayangan, dan terakhir disalamin sama si botak ponakan tersayang. Rindu. Ketika malam takbiran nunggu papa pulang dari mesjid, setelah itu gantian cium tangan. Atau ketika pulang dari salat ied, gantian sungkeman sama mamak papa. 

Dan tahun ini, untuk pertama kalinya, tangan pertama yang saya tarik adalah tangan suami. Selalu diingatkan mamak "siap salat maghrib di malam takbiran, langsung tarik dan salam tangan suami, jangan bersalaman dengan orang lain dulu." Simpel sebenarnya ajaran mamak, tapi sangat berarti. 

Tahun ini pertama kalinya berlebaran di perantauan. Tidak bisa pulang, tidak bisa berkumpul seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya berdua, tidak ada orang tua, kakak adik, abang ipar ponakan, mertua, dan adik ipar. Semuanya berlebaran di Aceh, kampung halaman tercinta.Tapi ada keluarga tante dan nenek yang setidaknya mengusir sepi. 

Tahun ini pertama kalinya salat ied tidak di sebelah mamak dan kakak. Biasanya selalu gelayutan di bahu mamak saat sedang mendengar khutbah idul fitri di mesjid komplek rumah. 

Tahun ini pertama kalinya tidak berada di dapur. Biasanya selalu bagi kerjaan di dapur dengan kakak. Dan tadi si kakak bilang "terasa kali nggak ada kamu, dek. Biasanya kamu yang masak, kakak yang beres-beresin, ini gempor ngerjain sendiri." Mamak juga bilang, "mamak capek kali, nur. Biasanya ada kamu, kamu yang belanja, kamu yang bersih-bersihin ini itu, nyiapin dan nyuci ini itu untuk di masak, kamu juga yang masak." Lain lagi dengan si adek yang tahun ini terpaksa beli baju online karena nggak ada aku lagi yang biasanya temanin dia beli baju. Adakah yang lebih buat rindu dari segala apapun yang ada di keluarga? Jawabannya jelas tidak ada!

Sejak memasuki pekarangan mesjid tadi, sudah mulai air mata menggenang. Lebaran kali ini sangat sepi. Hanya bisa duduk di kamar, dan sebentar lagi tertidur.

Sekali lagi, mohon maaf lahir dan batin!

Sabtu, 05 Juli 2014

Rindu Itu..

Ada satu hal yang aku ajukan kepada imamku ketika ia sedang melantunkan ayat-ayat indah Al-Qur'an, maghrib tadi. Dan aku tahu, ketika aku mengatakannya, kedua matanya terlihat memerah, dan ada sedikit air mata di sudut matanya. 

Aku mengatakan, aku rindu memeluk buah hati kami. Buah hati yang beberap bulan lalu telah kembali kepada Sang Pencipta sebelum kami sempat melihatnya. Sebelum aku sempat merasakan gerakannya menggelitik perutku.

Awalnya, sejak kejadian itu, kami berencana untuk menunda menimang buah hati sampai suamiku selesai bertugas di kota ini dan kami kembali ke Aceh. Banyak hal yang menjadi pertimbangan, salah satunya ketakutannya tidak mempunyai waktu yang banyak untuk menemaniku di rumah karena harus sering berada di tempatnya berkerja. Ia takut tidak bisa menjadi suami siaga untukku.

Tapi entah mengapa, beberapa hari ini aku merasakan rindu teramat sangat dengan suara tangisan bayi. Aku membayangkan di rumah ini, di kamar kami, ada buah hati kami yang tengah terlelap di tengah-tengah kami setelah lelah bermain. 

Entahlah..
Betapa aku merindukannya, padahal aku belum pernah merasakannya, kecuali saat aku merawat keponakanku sendiri dari tubuhnya masih merah sampai waktu aku meninggalkannya 4 bulan lalu untuk berada di sini. Ketika merawatnya saja aku begitu bahagia, bagaimana jika yang aku rawat adalah buah hatiku sendiri? Sudah pasti akan lebih sangat membahagiakan. 

Pernah ku katakan kepada tante bahwa kami akan menunda sampai pertengahan tahun depan nanti, namun beliau mengatakan bahwa hanya Allah lah yang berhak memberikan rejeki itu, kapanpun Ia mau. Awalnya aku ngeyel. Namun sekarang aku tahu, baru aku rasakan. Rasanya seperti ada space yang kosong. Bukan, bukan kosong di antara aku dan suamiku, tapi kosong karena betapa rindu ini teramat sangat mengusik hati kami.

Aku mempunyai suami, imam yang begitu sempurna untukku. Dan akan betapa bertambah sempurnanya hidupku jika Allah kembali mengijinkanku untuk bisa memiliki buah hati kami yang selalu kami rindukan.

Rabbi.. Aku melihat air mata itu di kedua mata suamiku. Dan kutahan pula air mataku ketika ia memelukku.