Minggu, 27 Juli 2014

Lebaran di Perantauan

Happy Ied Mubarak.. !
Mohon maaf lahir dan batin.

Tahun ini, tahun pertama berlebaran bersama suami, mengandeng jabatan sebagai istri. Banyak yg berubah, terutama ketika harus menarik tangan siapa untuk yang pertama kali. Kalau saat sebelum nikah, tangan pertama yang saya tarik adalah tangan mamak dan papa, kemudian kakak yang paling tua, abang ipar, kakak yang kedua, adik kesayangan, dan terakhir disalamin sama si botak ponakan tersayang. Rindu. Ketika malam takbiran nunggu papa pulang dari mesjid, setelah itu gantian cium tangan. Atau ketika pulang dari salat ied, gantian sungkeman sama mamak papa. 

Dan tahun ini, untuk pertama kalinya, tangan pertama yang saya tarik adalah tangan suami. Selalu diingatkan mamak "siap salat maghrib di malam takbiran, langsung tarik dan salam tangan suami, jangan bersalaman dengan orang lain dulu." Simpel sebenarnya ajaran mamak, tapi sangat berarti. 

Tahun ini pertama kalinya berlebaran di perantauan. Tidak bisa pulang, tidak bisa berkumpul seperti tahun-tahun sebelumnya. Hanya berdua, tidak ada orang tua, kakak adik, abang ipar ponakan, mertua, dan adik ipar. Semuanya berlebaran di Aceh, kampung halaman tercinta.Tapi ada keluarga tante dan nenek yang setidaknya mengusir sepi. 

Tahun ini pertama kalinya salat ied tidak di sebelah mamak dan kakak. Biasanya selalu gelayutan di bahu mamak saat sedang mendengar khutbah idul fitri di mesjid komplek rumah. 

Tahun ini pertama kalinya tidak berada di dapur. Biasanya selalu bagi kerjaan di dapur dengan kakak. Dan tadi si kakak bilang "terasa kali nggak ada kamu, dek. Biasanya kamu yang masak, kakak yang beres-beresin, ini gempor ngerjain sendiri." Mamak juga bilang, "mamak capek kali, nur. Biasanya ada kamu, kamu yang belanja, kamu yang bersih-bersihin ini itu, nyiapin dan nyuci ini itu untuk di masak, kamu juga yang masak." Lain lagi dengan si adek yang tahun ini terpaksa beli baju online karena nggak ada aku lagi yang biasanya temanin dia beli baju. Adakah yang lebih buat rindu dari segala apapun yang ada di keluarga? Jawabannya jelas tidak ada!

Sejak memasuki pekarangan mesjid tadi, sudah mulai air mata menggenang. Lebaran kali ini sangat sepi. Hanya bisa duduk di kamar, dan sebentar lagi tertidur.

Sekali lagi, mohon maaf lahir dan batin!

Sabtu, 05 Juli 2014

Rindu Itu..

Ada satu hal yang aku ajukan kepada imamku ketika ia sedang melantunkan ayat-ayat indah Al-Qur'an, maghrib tadi. Dan aku tahu, ketika aku mengatakannya, kedua matanya terlihat memerah, dan ada sedikit air mata di sudut matanya. 

Aku mengatakan, aku rindu memeluk buah hati kami. Buah hati yang beberap bulan lalu telah kembali kepada Sang Pencipta sebelum kami sempat melihatnya. Sebelum aku sempat merasakan gerakannya menggelitik perutku.

Awalnya, sejak kejadian itu, kami berencana untuk menunda menimang buah hati sampai suamiku selesai bertugas di kota ini dan kami kembali ke Aceh. Banyak hal yang menjadi pertimbangan, salah satunya ketakutannya tidak mempunyai waktu yang banyak untuk menemaniku di rumah karena harus sering berada di tempatnya berkerja. Ia takut tidak bisa menjadi suami siaga untukku.

Tapi entah mengapa, beberapa hari ini aku merasakan rindu teramat sangat dengan suara tangisan bayi. Aku membayangkan di rumah ini, di kamar kami, ada buah hati kami yang tengah terlelap di tengah-tengah kami setelah lelah bermain. 

Entahlah..
Betapa aku merindukannya, padahal aku belum pernah merasakannya, kecuali saat aku merawat keponakanku sendiri dari tubuhnya masih merah sampai waktu aku meninggalkannya 4 bulan lalu untuk berada di sini. Ketika merawatnya saja aku begitu bahagia, bagaimana jika yang aku rawat adalah buah hatiku sendiri? Sudah pasti akan lebih sangat membahagiakan. 

Pernah ku katakan kepada tante bahwa kami akan menunda sampai pertengahan tahun depan nanti, namun beliau mengatakan bahwa hanya Allah lah yang berhak memberikan rejeki itu, kapanpun Ia mau. Awalnya aku ngeyel. Namun sekarang aku tahu, baru aku rasakan. Rasanya seperti ada space yang kosong. Bukan, bukan kosong di antara aku dan suamiku, tapi kosong karena betapa rindu ini teramat sangat mengusik hati kami.

Aku mempunyai suami, imam yang begitu sempurna untukku. Dan akan betapa bertambah sempurnanya hidupku jika Allah kembali mengijinkanku untuk bisa memiliki buah hati kami yang selalu kami rindukan.

Rabbi.. Aku melihat air mata itu di kedua mata suamiku. Dan kutahan pula air mataku ketika ia memelukku.