Dia lelaki muda. Masih sangat muda. Pernikahan kami terjadi di usianya yang baru dua puluh tiga tahun. Dan usiaku yang sembilan bulan lebih tua darinya. Tapi hati, jiwa dan pikirannya tidaklah muda.
Dia lelaki muda. Masih sangat muda. Setiap hari, setiap pulang dari tempatnya menuntut ilmu, atau setiap ia merasa lelah menghadapi tugas yang kadang tak kunjung usai, ia selalu bergelayut manja di sampingku.Meletakkan tanganku di atas kepalanya, tanda bahwa ia minta kepalanya diusap olehku.
Aku mencintai suamiku.
Sekilas, dia tidak gagah, tidak berotot seperti model kelas dunia. Dia juga tidak setampan seperti bintang film paling terkenal dan digandrungi para kaum hawa. Dia tidak seperti itu.
Dia hanya lelaki yang selalu mencium keningku dengan lembut setiap selesai shalat dan setiap ia akan meninggalkanku menuju cita-citanya. Dia hanya lelaki dengan suara yang sangat merdu saat menjadi imam shalatku. Dia hanya lelaki yang fasih membaca ayat-ayat indah Al-Qur'an. Dia memang tidak sesempurna Muhammad. Tetapi Allah menjadikannya sempurna untukku. Untuk menjadi imamku, pelindungku, penopangku disaat rapuh, penyemangatku, pelipur laraku.
Hatinya sangat lembut. Ia akan terus mendekapku saat isak tangis mulai terdengar dari bibirku. Ia akan terus mendekapku saat air mata mengalir deras di kedua pipiku. Tatapannya teduh. Tutur bahasanya lembut menenangkan. Sesekali ia tak segan menampakkan air matanya yang juga ikut mengalir pelan.
Allah memberikan kami kebahagiaan. Kebahagiaan berupa ujian. Ujian yang sangat indah. Sangat mahal harganya. Dan Allah telah memberikan kami cinta yang saling menguatkan.
Aku mencintai suamiku, untuk kesekian kalinya.
Ketika ia berkata "Cinta dan kasih sayang yang aku berikan tidaklah setengahnya dari yang telah orang tuamu berikan. Namun, yakinlah, aku tidak akan pernah membuatmu merasa kekurangan cinta dan kasih sayang itu selama kamu mengijinkan, dan Allah merestui."
Suamiku, aku mencintaimu..